PENDEKATAN NARATIF

Pendekatan naratif lebih-lebih merelativir pendekatan pragmatis dalam pendidikan, pendekatan naratif ini menjadi salah satu pendekatan yang cukup baik. Hal itu didasari, bahwa narasi atau kisah mudah menggerakan untuk bertindak dan mengembangkan proses imajinatif subyek didik. Kisah mampu mendorong ke arah tindakan karena melalui mimetisme (peniruan), kisah berperan menjadi jembatan antara yang dipikirkan dan pengalaman praktis. Dalam hal moral, pendekatan naratif tidak menyodorkan norma-norma yang bersifat hipotesis (menggurui), melainkan bersifat kinousis (menyapa hati) dan narasi atau kisah lebih bersifat menyapa atau mengadaptasi pluralitas. Melalui cerita atau narasi ini subyek didik dapat menginternalisasi nilai-nilai budaya dalam konteks hidupnya. Makna yang dapat diambil dari kisah-cerita amat kaya, tergantung bagaimana cerita tersebut dapat menjadi frame of refence atas pemahaman dan intrepetasi kita. Cerita yang bergulir akhirnya menjadi representasi yang dapat diintrepetasi sebagaimana adanya. Cerita mempunyai jiwanya sendiri, cerita mempunyai kisahnya sendiri untuk bebas diintrepetasi. Sang pencerita hanyalah menjadikanya kisah terajut, namun nilai dan makna lepas dari rajutan, sesuai dengan frame yang ada di dalam diri sang penikmatnya. Refleksi akan semakin kaya jika cerita memuat banyak representasi nyata tentang kisah-kisah dan potret kehidupan manusia, karena cerita yang menyuguhkan berbagai kisah kehidupan dapat mampu menjadi dialog obyektif tentang kehidupan yang sebenarnya. Cerita pun kadang menjadi medan katarsis manusia, menjadikannya medan untuk menghibur dan menyemangati. Namun jelas, cerita kadang menjadi representasi kritis atas kehidupan dan nilai-nilai moral. Cerita akan kaya makna, jika cerita sungguh menjadi representasi yang mampu menimbulkan intrepetasi dan pemahaman serta internalisasi yang membangun (edukatif), dan kita pun akan kaya juga dengan pemahaman dan intepretasi yang dapat mengajak kita kritis dan cinta akan makna kehidupan.
Dalam pendekatan narasi ini, cerita rakyat atau cerita yang berlatar belakang budaya, cerita bijak atau cerita sufi, cerita religius tidak lah sekedar bersifat tekstual, melainkan dapat berbentuk film, cergam, cerbung, komik atau hasil olahan dramatisasi.  Adapun apa yang dapat diambil dari proses internalisasi suatu cerita, yaitu sebagai berikut:

A.    Cerita dan pernyataan moral

Kisah atau cerita mengungkap banyak hal berkisar kehidupan, maka betapa banyak nilai yang ingin dicoba diungkap. Melalui kisah yang dirajut dan direpresentasikan, kita dapat  mengapresiasinya dengan demikian rupa, sehingga kita dapat menemukan suatu pernyataan moral. Namun tidak semua cerita dapat mengungkapkan hal tersebut, kadang tergantung kekayaan kita untuk mengintrepetasinya. Pernyataan moral biasanya timbul melalui dialog-dialog tokoh atau sebuah representasi visual kisah, baik secara langsung maupun yang bersifat hanya tersurat. Maka jika cerita banyak menyuguhkan pernyataan moral, cerita bukanlah sekedar cerita melainkan menjadi alat penyampai nilai. Cerita  pun dapat berdampak sangat edukatif.
Pernyataan moral di dalam cerita tidaklah gampang ditangkap, melainkan haruslah memuat acuan yang representatif pada diri subyek didik. Jika subyek didik menemukan suatu pernyataan moral, belum tentu hal tersebut menjadi pernyataan moral atas dirinya, karena subyek didik mempunyai latar belakang tersendiri yang tidak dapat diandaikan oleh sang pengkisah. Cerita  menjadi medan dialog yang sungguh partisipatif, namun juga menjadi medan dialog yang pasif tergantung bagaimana pernyataan moral menjadi bagian representasi nyata dari kehidupan subyek didik. Melalui kaca mata cerita sebagai sarana yang cukup baik untuk upaya refleksi, suatu pernyataan moral di dalam cerita merupakan wahana yang tepat dan kaya akan intrepetasi dan pemahaman. Refleksi pun dapat bergulir dari analisa film mengenai pertanyaan-pertanyaan moral, dan sejauh mana cerita mampu menjawab ataupun semakin kritis memperkembangkan wacana.

B.    Cerita dan potret kehidupan manusia

Cerita menyuguhkan kisah yang mampu menjadi medan dialog batin tentang kehidupan. Namun betapa cerita yang mampu mengajak subyek didik untuk sampai kepada kesadaran akan kehidupan tidak banyak kita temukan. Tetapi jika kita menemukan cerita yang mampu mengajak psubyek didik untuk sampai kepada kesadaran kehidupan pastilah cerita tersebut akan kaya dengan citra dan gambaran tentang potret kehidupan yang sungguh menyentuh hati manusia. Karena, betapa kita sadari cerita mampu berbicara di dalam kesadaran kehidupan kita, jika cerita tersebut memuat representasi nyata dan dialog kehidupan sang penikmatnya. Cerita memang kaya, karena di dalamnya memuat kisah kehidupan manusia, kisah untuk dituturkan kembali sebagai cermin kehidupan kita. Tutur kisah dalam cerita dapat dijadikan sebagai media batin betapa kehidupan memuat makna yang kaya. Cerita dalam hal ini dapat menjadi sebuah pernyataan tentang kehidupan, pernyataan tentang kebenaran kehidupan manusia.
Hal itu didasarkan jika subyek didik menangkap sebuah pernyataan kehidupan dari tutur kisah yang ada, baik melalui sang tokoh atau tema yang digulirkan, dan tutur kisah tersebut menjadi dialog batin atas kehidupannya.

C.    Cerita  dan potret  sifat  manusia

Penokohan dalam cerita merupakan sebuah gagasan reflektif, karena dari hal tersebut dapat menjadi gambaran apresiasi tetang sifat manusia. Penokohan dalam cerita biasanya tergambarkan di dalam penokohan antara yang baik dan yang jahat atau protagonis dan antagonis. Tetapi kadang kali cerita tidak begitu menyuguhkan tentang protagonis dan antagonis, melainkan sebuah potret  kelam manusia, atau potret biografi kehidupan tertentu. Dari potret tentang sifat manusia melalui penokohan cerita ini dapat  ditangkap tentang kebenaran-kebenaran umum bagaimana sifat manusia menghadapi jaman dan kehidupannya. Dari tutur kisah dalam cerita biasanya ditampakkan bagaimana sang tokoh menghadapi masalah dan kemudian menyelesaikannya, dari sanalah terlihat sifat-sifat manusia yang terwakili oleh sang tokoh, sebagai gambaran umum sifat manusia.
Sifat-sifat manusia yang dimunculkan dalam cerita dapat menjadi dialektika kreatif para penikmat, betapa tergambarkan sifat manusia ketika mengahadapi masalah, antara kesedihan, kegembiraan, pertentangan, kegilaan, kekerasan, kegalauan, ketabahan, ketegaran dan lain sebagainya. Gambaran atau potret tersebut akan semakin berdialektika ketika sifat-sifat yang dimunculkan merupakan gambaran keadaan faktual subyek didik.

D.    Cerita dan kritik sosial-ideologis

Cerita merupakan media yang strategis untuk menyampaikan kritik sosial. Maka berdasarkan hal tersebut, memang cerita dapat mempunyai nuansa kritik sosial dan ideologis. Melalui kisah, tokoh, setting dan alur dapatlah sebuah kritik sosial tercipta. Kritik dapat bersifat tergambarkan melalui tampilan-tampilan visual baik langsung (dalam film) maupun tidak langsung ataupun di dalam dialog-dialog tokoh. Kritik kadang dapat bersifat sangat lugas dan transparan, namun kadang begitu halus dengan mempergunakan banyak lambang intrepetasi yang beragam. Tetapi yang terpenting dalam hal ini adalah, bagaimana kritik dapat sampai kepada subyek didik. Kritik sosial tersebut akan sampai jikalau subyek didik sungguh dekat dengan kehidupan sosial yang menjadi bagian dari kritik tersebut. Dari hal ini cerita dapat diamati oleh subyek didik baik melalui kaca mata ideologi atau pemahaman subyek didik sendiri ataupun buah dialog antara subyek didik dengan tutur kisah cerita yang akhirnya dapat melahirkan intrepetasi yang bersifat ideologis. Maka hal tersebut menandakan bahwa cerita sungguh dapat bersifat reflektif mengangkat masalah-masalah sosial.
Biasanya di dalam mengangkat masalah-masalah sosial,  cerita  lebih memberikan upaya reflektif secara umum dan jarang sekali mengangkat akar permasalahan. Cerita  lebih mengatakan dan menggambarkan bagaimana pentingnya upaya pembaharuan dan perubahan sosial, tetapi jarang mengangkat cara-cara yang bersifat menuju kepada perubahan sosial tersebut. Maka keterbatasan ini haruslah diangkat oleh subyek didik atau sang apresiator untuk menjadikannya sebuah kajian analisa untuk sampai kepada cara-cara taktis perubahan sosial, dan cerita menjadi dokumen atau media untuk memperdalam masalah.

E.    Cerita dan pertanyaan-pertanyaan filsafati kehidupan

Cerita sering kali mampu membuat subyek didik untuk semakin bertanya lebih tentang hidupnya. Hal itu terjadi karena cerita melalui tutur kisahnya menyajikan sebuah gambaran kehidupan, dimana tokoh dengan dialognya ataupun dari alur kisahnya terdapat sebuah pertanyaan-pertanyaan filsafati kehidupan, yang akhirnya tidak dijawab oleh tokoh cerita melainkan hendaknya dijawab oleh para penikmatnya. Dalam hal ini cerita sungguh dapat bersifat reflektif, mengantar penikmat untuk bertanya tentang kehidupannya.
Pertanyaan-pertanyaan filsafati yang muncul kadang kali bukanlah muncul dari alur cerita atau dialog tokoh, namun muncul dari upaya dialektika antara cerita dengan penikmatnya melalui apa yang disebut intrepetasi. Intrepetasi akan semakin kaya ketika gambar visual (semisal dalam film) menjadi medan dialog pertanyaan-pertanyaan filsafatii kehidupan.  Cerita kadang mewakili kehidupan manusia, sebuah citra atau gambaran kehidupan manusia. Citra tersebut akan membawa subyek didik untuk menemukan sebuah pesan atau bahkan sebuah pertanyaan yang sungguh bersifat filsafati.

purwono nugroho adhi

Dikembangkan dari makalah penulis mengenai Apresiasi Film, dan didasari dari Joseph M. Boggs. (1986). Cara Menilai Sebuah Film (terjemahan dar i The Art of Watching Film oleh Asrul Sani). Jakarta: Yayasan Citra

Tinggalkan komentar